Maria, Si Eva Baru di Era Baru

(Sebuah Pembuktian akan Kepedulian Allah terhadap Nasib Perempuan)


      Secara antusias, seorang teman penulis saat sama-sama masih di dalam kandungan biara Cordis Mariae Filius (CMF) menjuduli tulisannya demikian: “That’s my mother’s name”, ketika diminta romo rektor untuk menuliskan refleksi tentang siapakah Maria itu bagi para frater CMF. Ya, Maria memang nama ibu kandungnya juga. Rupa-rupanya si teman itu hendak mempersamakan kedekatannya pada Bunda Maria dengan kedekatannya kepada ibu biologisnya sendiri. Sungguh sebuah analogi yang tepat nan paten bagi seorang frater Claretian (demikian dunia internasional mengenal para misionaris CMF) seperti dirinya mengingat para misionaris tarekat ini dari segi gelar kebiaraan yang mereka sandang memang berarti Putera-putera Hati Tak Bernoda Maria (Cordis :Hati; Mariae : milik Maria; Filius/filii: Putera/Putera-putera). Bagaimana dengan kita?

      Disadari atau tidak, kita Umat Katolik juga idealnya memiliki kedekatan khusus dengan Bunda Maria mengingat dia adalah ibu kita juga. Tanpa bermaksud menggurui dan tentu juga tidak hendak mengecilkan arti penghayatan hidup kemariaan yang telah kita lakoni selama ini, berikut penulis hendak menampilkan lagi kesejatian Maria Bunda Kita dalam konteks keselamatan kita. Dia sesungguhnya adalah Hawa (Baru). Kenapa? Berikut penulis akan menjelaskan alasannya dengan menggantikan Hawa dengan Eva karena kedua nama itu tetap merujuk pada figur yang sama.

Eva (Lama) dan Akibat Ketidaktaatannya kepada Allah
      Martabat luhur seluruh ciptaan sesungguhnya telah termahkotakan pada manusia. Sebab, “Pada awal mula diciptakan, segala sesuatu baik adanya”, demikian kata kitab suci. Namun, martabat luhur seluruh ciptaan ini seketika rusak berantakan gara-gara kerapuhan Eva di hadapan Si Jahat yakni Iblis. Sebab, berkat jaminan yang ternyata fiktif dari Si Jahat yang di dalam kisah itu dipersonifikasikan dengan ular, Evapun menghampiri Adam pasangannya untuk menawarkan buah yang semestinya tak boleh meraka coba rasakan. Dan Adam berkat jaminan dari Eva, - yang telah memetik buah itu dan ternyata tidak terjadi apa-apa -, pun mencicipinya. Naas bagi mereka, begitu Adam baru mencicipi buah itu, Tuhan datang. Tuhan pun seketika murka. Dan sejak saat itulah mereka dan seluruh anak keturunannya dikenai tulah dosa oleh Allah. Maka, seketika itu pula martabat luhur seluruh ciptaan rusak binasa. Dikatakan seluruh ciptaan karena puncak keluhuran seluruh ciptaan ada pada manusia. Kita akan lebih memahami ini jika kita perhatikan ikan yang membusuk selalu dimulai dari kepalanya. Demikian kiranya isi ringkas kisah kejatuhan manusia dalam dosa menurut Kitab-kitab Suci (Taurat - Yahudi, hadis-hadis dan kisah-kisah isra’iliyat - Islam, dan Al-Kitab - Kristen/Katolik). Jadi, dosa Adam dan dosa kita terjadi karena KETIDAKTAATAN SATU ORANG.

Siapakah Eva (Lama) Itu Sesungguhnya?
      Konsep Gereja tentang Eva (Lama) mendapat tantangan semenjak Charles Darwin mengemukakan teorinya bahwa bangsa manusia yang dikenal sekarang merupakan hasil evolusi dari kera. Padahal sudah berabad-abad lamanya Gereja menganut paham bahwa Eva itu adalah makhluk historis yang pernah hidup bersama Adam beribu-ribu tahun sebelum masehi di Taman Eden yakni taman yang berdasarkan penggalian arkeologis terdapat di sekitar lembah sungai Tigris dan Eufrat di Timur Tengah. Tetapi terlepas dari benar tidaknya keberadaan Taman Eden itu di zaman baheula, keberadaan Eva Lama itu tak dapat kita buktikan secara ilmiah selain berdasarkan pada pemahaman buta terhadap informasi Alkitab. Padahal, Alkitab itu tak sepenuhnya buku sejarah. Yang benar adalah Alkitab itu kumpulan dari kisah-kisah historis dan hasil-hasil refleksi sejumlah orang yang menuliskannya di bawah bimbingan Roh Allah sendiri. Jadi, benarkah Eva Lama itu ada secara historis? Para ahli Al-Kitab kontemporer sepakat bahwa Adam dan Eva tidak harus diyakini sebagai tokoh individual historis (bdk. J. M. Celma Puig : 2001). Mereka benar-benar ada atau tidak, tetap tidak akan memengaruhi kebenaran bahwa kehidupan manusia itu datangnya dari Tuhan (bdk. Franz Dähler & Eka Budianta : 2004). Dengan demikian di dalam Gereja sekarang ini teori evolusi Darwin lebih menawarkan toleransi: diterima mangga, tidak juga mboten punapa-punapa.

      Adalah Teilhard de Chardin, seorang imam Yesuit kelahiran Prancis yang berhasil meyakinkan Gereja bahwa teori Darwin sesungguhnya tidak bertentangan dengan ajaran Kitab Suci. Syaratnya adalah dengan tidak mengakui Adam dan Eva sebagai benar-benar makhluk individual pertama dari bangsa manusia. Karena apa? Menurut de Chardin maupun arkeolog yang bukan praktisi agama sekalipun, yang dimaksudkan oleh Al-Kitab tentang Adam dan Eva adalah perlambangan akan keberadaan manusia sebagai makhluk yang memiliki kedudukan istimewa di mata Tuhan dibandingkan makhluk ciptaan lainnya. Kisah kejatuhan mereka ke dalam dosa di dalam Al-Kitab adalah sebuah ajaran yang diungkapkan secara sastrais bahwa godaan untuk memiliki pengetahuan seperti Tuhan, memutuskan dan bertindak seperti Tuhan adalah realistis dan sekaligus aktual sampai pada zaman kita. Lihat, ada berapa jumlah kehancuran yang diakibatkan oleh kepintaran dan keputusan bertindak manusia selama ini? Pembasmian etnis tertentu, kebencian terhadap penganut agama tertentu, kecenderungan untuk menguasai perekonomian dunia dan lain-lain sebagainya adalah beberapa contoh tindakan manusia yang diakibatkan oleh kepongahannya yang hendak menyamai Tuhan.

      Lalu, kalau Adam dan Eva itu tidak harus dimaknai sebagai benar-benar pribadi historis, bagaimanakah dosa asal dipahami? Dosa asal tidak kehilangan makna hanya karena kita menerima paham bahwa Adam dan Eva itu bukan manusia historis. Sebab dosa asal yang sesungguhnya berarti setiap dosa tidak hanya berarti perbuatan individual semata melainkan punya arti sosial yang turun-temurun. Setiap dosa entah itu pribadi pun sosial selalu pasti menjangkiti lingkungan keluarga dan bersama dosa lain menjalar ke mana-mana laksana sungai yang kotor, sampai seluruh umat manusia masuk ke kancah kejahatan dan sengsara, tercerai-berai sebagaimana menonjol dalam perang.

Misteri Inkarnasi, Proyek Penciptaan Baru (Re-kreasi)
      Namun, meski sehina apapun rupa manusia setelah kejatuhannya dalam dosa, Allah tetaplah Allah yang tak mungkin mengingkari diri-Nya sendiri. Maka, oleh karena sejak semula manusia diciptakan-Nya sedemikian rupa hingga secitra dan segambar[1] dengan-Nya, Diapun berinisiatif untuk memulihkan citra mulia itu dengan mengirimkan para nabi-Nya ke dunia. Proyek pemulihan citra diri manusia ini berpuncak pada kerelaan Allah sendiri untuk turun ke dunia dengan mengambil rupa manusia agar manusia yakin bahwa mereka memang benar-benar pantas menyandang predikat sebagai rupa dan gambar Allah sendiri. Pemulihan kembali citra diri manusia lewat kisah inkarnasi inilah yang kemudian oleh para Bapa Gereja menyebutnya sebagai sebuah kisah penciptaan baru. Di sini tentu saja inkarnasi lebih dimaknakan sebagai rekreasi (perulangan penciptaan dengan materi yang tetap sama) daripada neo kreasi (penciptaan sesuatu dari ketiadaan). Apa implikasi dari proyek rekreasi ini?

Kerjasama Allah - Maria Memungkinkan Pemulihan Martabat Perempuan
      Dampak penyerupaan diri Allah sebagai manusia adalah penghapusan dosa dalam banyak segi dan rupanya. Salah satu rupa dosa adalah perlakuan budaya patriarkal yang diskriminatif terhadap perempuan. Saat Allah (dalam diri Yesus) lahir ke dunia, baru bangsa Yahudi yang mengklaim dirinya sebagai penganut monoteis dalam sejarah peradaban dunia dan karena itu membangga-banggakan diri sebagai bangsa terpilih Yahwe/Elohim (Allah). Tetapi justru bangsa ini juga yang memperlakukan perempuan secara semena-mena. Bayangkan! Sampai masa mesianik Yesus Kristus, kesaksian ribuan perempuan yang berkata benar di depan pengadilan bisa runtuh hanya dengan kesaksian palsu seorang laki-laki, dan masih banyak lainnya. Terbersit dalam benak kita tentunya: jangan-jangan personifikasi Eva sebagai “perempuan yang menggoda Adam (laki-laki)” di Al-Kitab hingga bangsa manusia harus menanggung seluruh akibat yang ditimbulkannya adalah sebuah proyeksi dari budaya diskriminatif-patriarkal Yahudi. Proyeksi artinya melemparkan bayangan (shadow) yang ada dalam diri kita sendiri, kepada objek atau orang lain atau malah roh jahat (Franz Dähler & Eka Budianta: Op. Cit.). Hal ini mungkin demi mengingat Eva dan Adam tidak harus diterima sebagai pribadi historis lagi. Terlebih lagi, Kitab Kejadian pada Perjanjian Lama Al-Kitab bersumber pada Kitab Taurat. Oleh Konsili Vatican II pun mengakui Kitab Suci sebagai buah karya manusia di bawah bimbingan Roh Tuhan (bdk. Dei Verbum 2). Jadi, meski dibimbing oleh Roh, tetap ada nuansa manusiawinya yang tentu saja sangat ditentukan oleh latar belakang budaya penulis sendiri dan kepada siapakah tulisannya itu ditujukan. Kita semestinya sadar bahwa Taurat ditulis oleh dan ditujukan kepada orang Yahudi.


      Justru saat kita menerima konsep di atas, rasanya indah sekali kedengarannya kalau kita merefleksikan bahwa ketika Allah berinisiatif hendak memanusiakan diri ke dunia, salah satu konsekuensinya adalah Dia pun harus lahir dari rahim seorang wanita sebagaimana anak-anak manusia lainnya. Padahal dengan kemahakuasaan yang dimiliki-Nya, Dia bisa saja turun ke dunia dengan tiba-tiba sudah jadi berupa seorang pemuda gagah nan elok rupawan dalam diri Yesus Kristus. Tapi, tidak! Ia mau mengambil seluruh konsekuensi dari pilihan bersikap-Nya sendiri: lahir seperti manusia, mengalami kematian pun juga seperti manusia biasa layaknya. Bahkan cara Dia mati pun diambil-Nya yang paling memalukan: mati dibunuh orang dengan cara paling keji yakni disalibkan meski pengadilan tidak membuktikan satupun kesalahan-Nya. Dengan mengambil seluruh konsekuensi seperti ini, pantaslah kiranya kalau St. Paulus mengatakan “seluruh dosa kita telah ditanggung-Nya”. Jadi? Dengan memakai jasa seorang perempuan untuk melaksanakan rencana pemulihan ciptaan dalam diri manusia, Allah memurnikan martabat wanita sebagai partner pria, bukan hamba dan binatang peliharaan sebagaimana Aristoteles dan St. Agustinus kemukakan.

Maria, Eva Baru di Era Baru, Masihkah Relevan?
      Karena harus lahir dari rahim seorang perempuan, Dia tentu butuh kerelaan seseorang dari sekian banyaknya perempuan. Di sanalah kita temukan ketokohan Maria, Bunda Kita. Marialah pahlawan dalam proyek inkarnasi sebab karena kerelaan sekaligus ketaatannya pada apa yang dimaui Allah, kita manusia dimungkinkan diperbaiki lagi citranya sebagai rupa dan gambar Allah, ciptaan yang paling mulia di antara seluruh ciptaan Tuhan. Tentu lain ceritanya andaikata Maria tidak menyatakan fiat-nya yang terkenal, “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu”, saat ia diminta Malaikat Gabriel untuk melahirkan Tuhan sebagai manusia. Seluruh rencana Allah untuk memulihkan citra diri manusia pun terealisir berkat KETAATAN SATU ORANG!!


      Sampai di sini, marilah kita merenungkan bahwa dosa dan rahmat itu dimungkinkan oleh KETAATAN. Karena tidaktaatannya Eva, Adam dan kita semua pun berdosa. Tapi karena taatnya Maria, kita semua pun beroleh rahmat pemulihan martabat diri sebagai rupa dan gambar Allah. Implikasinya jelas: kalau sudah menerima konsep bahwa misteri inkarnasi adalah sebuah proyek penciptaan baru, satu yang tak dapat kita hindari adalah melihat Maria sebagai Eva, tepatnya Eva Baru. Di sini perlu kiranya disinggung bahwa gelar Yesus sebagai Adam Baru tidak kehilangan makna jika berkaca pada kenyataan bahwa Dia Putera Maria, bukan Suami Maria sebagaimana Eva dan Adam pada kisah penciptaan lama. Dilihat sebagai Suami Maria pun sebenarnya bisa dengan syarat melihat kesuamiistrian mereka tidak dengan kacamata biologis melainkan dengan kacamata rohani-teologis bahwa berkat mereka berdualah kita bisa diangkat ke dalam tata keselamatan (jadi anak-anak mereka).


      Persoalannya sekarang adalah pemahaman akan konsep seperti itu apakah relevan dengan penghayatannya? Marilah kita meneladani Maria yang rendah hati untuk mengakui bahwa penghargaan kita akan ketokohan Sang Bunda dalam proyek keselamatan kita selama ini masih sebatas ritualitas semata-mata. Devosi kemariaan seperti Novena 3 x Salam Maria dan Rosario yang ditekuni dalam kekhusukan sikap doa belum dibarengi dengan kekhususkan dalam berpikir, bertindak dan bertutur kata. Penghargaan kita yang kurang terhadap kaumnya Sang Bunda contohnya, tidak dapat tidak pastilah dikarenakan belum memahami bahwa kita hadir dan berada sebagai manusia dikarenakan wanita (ibu kandung), meninggal dan selamat masuk surga pun dikarenakan oleh ketokohan seorang wanita bernama Maria yang merelakan dirinya untuk melahirkan Allah sebagai pribadi historis dalam diri Yesus Kristus, Satu-satunya Jembatan kita menuju surga. Semoga dari sekarang kita mau untuk lebih rendah hati meneladani Bunda Maria dalam menghayati kehidupan yang cuma sebentar saja ini di sini. Kiranya fiat Maria: JADILAH PADAKU MENURUT KEHENDAKMU, menjadi fiat kita juga. Artinya kita membiarkan apapun yang sedang kita tekuni saat ini, semuanya melulu demi kehendak Allah. Bagaimana, sepakat?

______________________________________________________
[1] Konsep manusia sebagai rupa (similitudo Dei) dan gambar Allah (imago Dei) ini pertama kali diperkenalkan oleh dua pujangga Gereja yakni Tertulianus danSt. Agustinus.

Comments

Popular posts from this blog

Materi Pendukung Katekumenat

Kupu-kupu yang Lucu, Berita Apa yang Kau Bawa?