Tuhan Tak Pernah Salah dalam Mengarahkan Sejarah

Ah..., saya tentu mendapat pertentangan dari pembaca yang telah terbuai oleh teori Darwin bahwa kehadiran kita di bumi ini hanyalah sebuah akibat dari perjalanan evolusi. Namun, andai kita sedikit mau meluangkan waktu berdialog dengan diri sendiri dalam keheningan bathin, tentu kita akan sampai pada sebuah pemahaman bahwa tak ada yang serba kebetulan di alam ini.
Kehadiran saya maupun Anda di bawah kolong langit ini, misalnya, merupakan sesuatu yang sudah terencanakan oleh Sang Pencipta, meski untuk itu Dia mengindahkan hukum-hukum keniscayaan alam yang sudah terlebih dahulu Dia ciptakan bahwasanya saya harus lahir di sebuah keluarga dengan berayahkan Mr. X dan beribukan Mrs. X.
Kita yang merupakan ciptaan (ens ab alio atau ada yang di-ada-kan oleh sesuatu yang sudah ada sebelumnya), bisa ada dan hadir di tempat kita berpijak, tidur dan bernafas tentu diadakan oleh Sang Pengada (huruf besar dipakai untuk membedakan Dia dari orang tua yang dalam arti tertentu juga merupakan pengada kita) tentu karena dimaksudkan untuk tujuan tertentu oleh-Nya. Maka dari itu, bisalah kita tegaskan bahwa kita bukan merupakan sebuah produk kebetulan alamiah.


Dosa Merupakan Pemberontakan
Kalau kita hidup dan berada di atas dunia ini merupakan kehendak Tuhan yang adalah Kudus, mengapa ada dosa? Di titik inilah yang membuat kita patut untuk takluk di hadapan kemahabesaran Allah. Kenapa? Karena, meskipun Dia menciptakan manusia untuk sebuah proyek nan mulia, namun toh Dia meletakkan juga pada pribadi kita masing-masing sebuah wewenang berupa kehendak bebas. Allah, sedemikian besar hati-Nya dan agung karya-Nya, sampai-sampai Dia tidak memaksakan kita manusia untuk menuruti kehendak-Nya. Inilah perbedaan yang cukup mendasar antara manusia selaku pencipta dan Allah Pencipta. Kita manusia misalnya menciptakan berbagai sarana untuk keperluan dan kemudahan aktifitas insani kita dan karenanya peralatan tersebut didisain sedemikian rupa agar sesuai dengan keinginan kita. Allah beda. Pertama, Dia menciptakan kita dan berharap bahwa dari ciptaan-Nya yang satu ini ada usaha untuk dilibatkan-Nya dalam proyek penciptaan-Nya dari waktu ke waktu. Namun tanpa bantuan kitapun sebenarnya Dia tetap akan sukses selalu dalam proyek penciptaan-Nya dari saat ke saat. Justru karena itu makanya Dia patut disanjung puji: bahwa sebenarnya tanpa keterlibatan manusiapun Dia sanggup melakukan apa saja namun toh, Dia tetap selalu mengundang kita dalam proyek-proyek-Nya. Bukankah ini sebuah keluarbiasaan?
Kedua, Meski Allah menciptakan kita manusia dengan tujuan hendaknya menjadi co-creator atau rekanan dalam karya penciptaan-Nya selanjutnya, namun toh Dia tidak mendisain kita agar taat tanpa syarat di bawah kehendak-Nya. Sebaliknya Dia justru menyematkan pada pribadi kita masing-masing kehendak bebas yang membuat kita bisa bebas untuk menerima tawaran-Nya terlibat dalam proyek-proyek-Nya atau malah menolak.
Ketiga, kebesaran Allah juga terletak pada kemurahan hati-Nya dengan menyediakan surga bagi mereka yang dengan kehendak bebasnya atau secara sadar, tau dan mau ingin dilibatkan-Nya dalam karya-karya-Nya. Di titik ini mari kita coba memandang diri kita bahwa sebenarnya apapun ciptaan Tuhan, apalagi manusia yang derajad kedudukannya melebihi derajad ciptaan Tuhan lainnya, sesungguhnya datang dari kekekalan Allah sendiri yang diutus-Nya masuk ke dalam ruang dan waktu hingga mengenal apa yang disebut sejarah untuk seharusnya kembali kepada-Nya lagi yaitu Allah selaku Kekekalan itu sendiri. Jadi, sebetulnya tak ada yang sia-sia di alam ini.
Benar bahwa sebetulnya tak ada yang sia-sia di alam ini. Lahir dan mati hanyalah dua momentum dalam sebuah siklus sejarah; sejarah yang sebetulnya tak ada ujung dan akhirnya bila dilihat dalam konteks ke-Allahpencipta-an. Namun, meski begitu, keengganan manusia untuk menerima tawaran Allah untuk dilibatkan dalam karya-karya-Nya tentu membawa dampak sebagaimana mereka yang menerima. Kalau yang menerima tawaran dampaknya adalah kembalinya mereka ke dalam kekekalan bersama Allah, sebaliknya mereka yang enggan, tentu tidak dapat menemukan lagi jalan untuk pulang atau kembali kepada kekekalan yakni darimana mereka sebenarnya datang. Karena apa? Karena sesungguhnya keterlibatan kita manusia dalam karya penciptaan Allah yang senantiasa berlangsung setiap saat sesungguhnya merupakan cara Tuhan untuk menunjukkan jalan pulang atau kembali bagi kita. Itulah sesungguhnya yang dikehendaki oleh Allah dari awal mula kita diciptakan. Maka dari itu, keengganan kita menerima tawaran-Nya bisa dikatakan sebuah pemberontakan terhadap otoritas (Kehendak)Allah. Istana, bukan tempat bagi para pemberontak. Surga yang merupakan Istana Allah pun demikian, bukan tempat yang pantas bagi para pemberontak-Nya. Di mana tempat mereka? Tempat mereka tentu yang berlawaanan dengan kediaman Allah. Jika kediaman Allah adalah sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan abadi, maka tinggal cari saja apa yang merupakan lawan dari kebahagiaan abadi, dapatnya adalah sengasara yang abadi. Tempat ini lalu dalam refleksi agama-agama disebut neraka, istana iblis yang merupakan musuh Allah dari masa ke masa.

Implikasinya bagi Kita di Zaman Moderen Ini Apa?
Di zaman kita, konsep demokrasi yang mendewa-dewakan kehendak bebas dan kemerdekaan pada seginya yang terdalam yakni kemerdekaan bathin merupakan era di mana Kehendak Allah mendapat tantangan berat. Alih-alih demi demokrasi dan terjaminnya hak azasi tiap orang, kebanyakan kita malah terbuai hingga kebablasan sampai-sampai tawaran cinta Tuhan yang mensyaratkan adanya ketaatan dari pihak kita terhadap kehendak-Nya dan serta-merta menanggalkan egoisme dan gengsi pribadi tidak kita hiraukan. Akibatnya apa? Bumi tempat kita berpijak dan langit tempat kita mengambil nafas akhirnya bukan lagi menjadi tempat yang layak hangat dan ramah bagi semua orang. Hal inipun memicu terjadinya wabah egosentris massal yang melanda dunia. Akankah kita bisa bertobat? Hal itu tidak akan mungkin kalau kita masih memandang diri sebagai hasil proses sebuah kebetulan alamiah. Kita diciptakan karena ada maksud. Apa rupa maksud tersebut? Tidak bisa tidak, hanya bisa dijumpai dalam kesediaan untuk berdialog dengan diri sendiri dalam sebuah keheningan. Percayalah, di sana kita akan mengamini perkataan ini: TUHAN TAK PERNAH SALAH DALAM MENGARAHKAN SEJARAH.

Comments

  1. @Bro Andre: maksih atas kunjungannya. Anda pertamax...Bravo buatmu Brother....mari saling menginspirasi.

    ReplyDelete

Post a Comment

Anda memiliki kritik, saran atau masukan demi penyempurnaan blog ini? Mohon tinggalkan di sini ya Samawi....

Best Regard


_________________________buminanmanusiawi______________________

Popular posts from this blog

Maria, Si Eva Baru di Era Baru

Kala Dewa Maut Menjemput Kekasih Kita (Persembahan Khusus bagi Kaum Kristiani yang Sedang Berduka Ditinggal Mati Seseorang )

Materi Pendukung Katekumenat